Sabtu, 12 Mei 2012

adat aceh ==>Tulak Breuh


BERAGAM khasana adat dan budaya di Aceh. Beragam pula cara dalam praktiknya. Ada yang  berupa upacara daur hidup (life cycle), atau acara  ritual yang dilaksanakan dalam siklus kematian. Di antara ritual dalam siklus kematian yang dipraktikkan oleh etnik Aceh adalah tulak breuh.  Ritual tulak breuh ini cukup marak dilakoni, kuhusnya  oleh sebagian masyarakat yang bermukim di wilayah Aceh Besar dan Banda Aceh. Ritual tulak breuh dilakukan pada hari kematian atau ketika jenazah msih berada di rumah duka.

Disebut tulak breuh, karena menggunakan  beras (Aceh: breuh) sebagai medianya.. Ritual ini dilakukan oleh beberapa orang masyarakat gampong yang dianggap alim atau salih dalam beragama dan biasanya dipimpin oleh seorang teungku atau imam meunasah. Jika di gampong itu atau di sekitarnya ada dayah, maka tak jarang keluarga yang dirundung kematian (shahibul bait) mengundang pimpinan dayah beserta beberapa orang santrinya untuk melaksanakan ritus dimaksud.

Ritus tulak breuh sebuah fenomena agama. Kendati tulak breuh telah dipraktikkan secara turun-temurun oleh sebagian masyarakat dan dianggap sebagai bagian dari ritus kematian seorang muslim, namun tidak ada nash Alquran maupun hadist yang menyinggung tentang praktik ini. “Pelaksanaan tulak breuh pada hari kematian didasarkan pada praktik yang dilakukan oleh Imam Subki (seorang murid Imam Syafii)”,  kata  Teungku Ilyas Musa (Pimpinan Dayah Darul Mu’allimin, Gampong Doy, Ulee Kareng, Banda Aceh),

Tulak breuh dilakukan sebagai fidyah atas salat yang ditinggalkan semasa hidup oleh orang yang telah meninggal dunia. Tgk. Ilyas mengakui bahwa sebenarnya dalam ajaran Islam tidak dikenal istilah fidyah shalat. Pernyataannya didasarkan pada matan yang termaktub dalam kitab ‘Iyanat ath-Thalibin: “Man mata wa ‘alaihi shalatu fardhin lam tuqdha wa lam tudfin wa fi qaulin fa ‘ala subki li ba’dhi ashabihi tuqdha wa tufiduhu”. Jika diartikan secara bebas adalah: “Barangsiapa yang meninggal dan dia meninggalkan shalat (semasa hidupnya), tidak ada qadha dan tidak ada fidyah. Pada suatu qaul telah dikerjakan oleh Imam Subki bagi sahabatnya, yaitu menqadhakan shalat dan memberikan fidyah.

Berdasarkan matan kitab tersebut, Tgk. Ilyas menegaskan bahwa sebenarnya fidyah shalat itu dilarang yang tercermin dari kalimat lam tuqdha wa lam tudfin, yang berarti tidak ada qadha dan tidak ada fidyah. “Karena itu dalam segi hukum tidak boleh kita mengifta (menfatwa, pen.), tetapi bila kita menginginkan orang tua kita yang telah meninggal diberikan fidyahnya, silakan saja, asal jangan dimuftikan ini menjadi suatu kewajiban. Kalau seperti itu, enak betul, kita simpan saja gabah sekitar 20 ton, lalu kita tak usah shalat, cukup dengan membayar fidyah saja,” tegasnya.

Sebagai seorang pimpinan dayah dan tokoh agama di desanya, Tgk. Ilyas seringkali diminta oleh masyarakat untuk memimpin pelaksanaan tulak breuh sebagai fidyah shalat bagi orang tua atau salah seorang kerabat mereka. Tgk. Ilyas tidak pernah menampik permintaan tersebut, sebab menurutnya dari perspektif ajaran Islam, tidak ada salahnya melakukan hal tersebut, kendati qaul untuk itu sangatlah dhaif.  Tgk. Ilyas mengaku baru mau melaksanakan tulak breuh kalau ahlul bait dari orang yang meninggal memintanya, kalau tidak diminta dia tidak akan melaksanakannya. Dia juga tidak pernah memberikan fatwa bahwa itu suatu hal yang wajib atau mesti dikerjakan, sebab ini adalah qaul yang paling dhaif. “Saya selalu menyampaikan hal ini pada setiap kali saya diminta untuk menunaikan fidyah shalat tersebut,” tambah Ilyas.

Jika sebuah keluarga bermaksud melaksanakan tulak breuh bagi salah seorang anggota keluarganya yang telah meninggal dunia, maka salah seorang anggota keluarga mendatangi teungku gampong atau pimpinan dayah yang ada di gampong itu untuk menyatakan keinginannya seraya menyebutkan usia hidup si jenazah dan tata kehidupannya di dunia, khususnya yang terkait dengan pelaksanaan shalat. Teungku tersebut kemudian mencari seorang teungku yang lain yang akan mendampingi dirinya (waki teungku) dalam pelaksanaan tulak breuh. Ketika tiba di rumah duka, teungku menunjuk 12 orang yang dianggapnya shalih atau taat dalam beribadah untuk membantunya melaksanakan tulak breuh. Ada kalanya 12 orang ini ditunjuk oleh geuchik, tokoh masyarakat, atau ahlul bait sendiri.

Tulak breuh dilakukan sebelum jenazah dishalatkan. Ritual ini dilakukan oleh 14 orang yang duduk berhadap-hadapan, sehingga membentuk 7 (tujuh) pasangan. Di hadapan setiap pasangan terdapat satu karung beras ukuran 15 kg, yang telah disediakan oleh ahlul bait. Pimpinan upacara mengambil posisi duduk paling kanan atau kiri. Waki teungku ditunjuk sebagai pasangan dari teungku yang memimpin upacara, sedangkan 6 (enam) pasangan lain merupakan jamaah yang mengikuti aktivitas pimpinan ritual.

Sebelum aktivitas tulak breuh berlangsung, teungku yang memimpin upacara biasanya menyampaikan kepada masyarakat yang berta’ziah dasar hukum pelaksanaannya. Selanjutnya, tulak breuh dilaksanakan. Menurut Teungku Ilyas, tata cara pelaksanaannya disebut dalam kitab ‘Iyanat ath-Thalibin, yaitu tsamma fa tsamma, maknanya saling memberi. Ini berarti teungku yang satu memberi kepada teungku yang lain. Secara hukum itu telah menjadi hak milik teungku penerima. Akan tetapi, dalam praktik pembayaran fidyah, teungku kedua (penerima) memberikan kembali beras yang diterimanya itu kepada teungku pertama, beras itupun kemudian menjadi hak miliknya. Ini bermakna bahwa dalam hal ini yang ditonjolkan adalah bantu-membantu.

Pimpinan ritual memegang karung beras di hadapannya dan diikuti oleh enam orang lain yang berada sebaris dengannya. Beras itu kemudian diserahkan (ditulak) kepada orang yang berada di hadapan mereka masing-masing, disertai ucapan: “Beras ini semua adalah fidyah shalat Teungku Fulan bin Fulin, kadarnya satu bulan, saya berikan kepada teungku.” Ucapan ini hanya dilafalkan oleh pimpinan upacara kepada teungku yang berada di hadapannya (waki teungku), sedangkan jamaah yang lain hanya mengikuti perbuatan si pimpinan. Setelah menerima karung beras dari pasangan masing-masing, beras itu kemudian ditulak lagi kepada si pemberi dengan mengucapkan lafal yang sama. Lafal ini diucapkan oleh waki teungku yang memimpin upacara. Demikianlah tulak-tarek beras ini terjadi berulang-ulang sampai jumlah shalat yang difidyahkan dirasa telah tercukupi.

Satu kali tulak breuh (7 karung dan masing-masing berisi 15 kg) diartikan sebagai fidyah bagi sebulan shalat yang ditinggalkan, yaitu setara dengan pemberian 60 bambu beras kepada fakir-miskin. Jumlah tulak-tarek beras mengacu kepada usia hidup si jenazah, setelah dikurangi masa pra baligh (taklif) dan masa-masa hidupnya dalam beribadah. Ini bermakna bahwa fidyah hanya diberikan untuk masa-masa si jenazah meninggalkan shalat atau masa-masa ketiadasempurnaan ibadah shalat___menurut kasat mata___dalam hidupnya. Dalam hal ini jumlahnya sangat relatif, artinya tidak dapat ditentukan secara pasti, namun hanya berdasarkan perkiraan dari teungku pimpinan upacara berdasarkan keterangan dari ahlul bait yang meminta ditunaikan fidyah tersebut.

Teungku Ilyas memberi contoh, seorang yang meninggal dunia dalam usia 70 tahun, maka umur tersebut dikurangi masa taklif  selama 15 tahun. Selanjutnya, dalam pengetahuan umum diketahui bahwa selama 50 tahun orang tersebut mengerjakan shalat dengan sungguh-sungguh, lima tahun sisanya barangkali dia tidak lagi kontinu menunaikan shalat dengan berbagai sebab, maka yang lima tahun itulah yang difidyahkan. “Jika orang yang meninggal dunia itu diketahui atau diduga meninggalkan shalat selama setahun atau lebih, di sinilah terletak nilai saling membantu tadi atau yang diistilahkan dengan tsamma fa tsamma Dalam hal ini, fidyah tersebut diibaratkan sebagai tambalan bagi kain yang robek,” kata Ilyas.

Berdasarkan lafadh dalam tulak-tarek breuh, maka beras yang menjadi perlengkapan utama dalam pembayaran fidyah itu pada hakikatnya telah menjadi milik pelaksana ritual. Akan tetapi, teungku pemimpin ritual memberikan beras itu kembali kepada keluarga, dan diganti dengan memberikan sejumlah uang.

Nah, uang diberikan, cara pertama setiap orang diberikan uang langsung oleh keluarag yang meninggal. Ini jika para pelaksana ritual terdiri dari masyarakat desa setempat. Besarnya uang yang diberikan biasanya Rp. 100.000; sampai Rp. 150.000; untuk teungku pimpinan, dan Rp. 50.000; untuk 13 orang yang lain. Sedangkan cata kedua,  bila pelaksana ritual terdiri dari teungku dan para santrinya, yang berasal dari desa setempat maupun dari luar desa, yang diundang secara khusus untuk melaksanakan tulak breuh. Dalam kasus seperti ini, ahlul bait cukup memberikan uang kepada teungku pimpinan yang besarnya berkisar antara Rp. 700.000; sampai Rp. 1.000.000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar